Meskipun Badan Reserse Kriminal Polri telah menetapkan Firman Hertanto sebagai tersangka utama dalam kasus judi online dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkannya, polisi belum memberi tahu publik tentang perkembangan kasus ini sejak pertama kali diumumkan kepada publik pada 16 Januari 2025.
Pada Januari lalu, Bareskrim Polri menemukan jaringan judi online di Semarang yang diduga dipimpin oleh Firman Hartanto, yang dikenal sebagai Aseng, Komisaris PT Arta Jaya Putra. Karena pelaku menggunakan strategi hawala melalui perusahaan cangkang, bisnis haram tersebut tidak terendus sama sekali. Aseng juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Setiap bandar menyetorkan Rp 15 juta per situs judi yang mereka kelola setiap bulan ke empat rekening, dua di antaranya atas nama Rico F dan Oey R. Menurut sumber, karena masing-masing bandar memiliki ratusan situs web, dua humas ini dapat mengumpulkan sekitar Rp 40-45 miliar.
Firman diduga menggunakannya untuk membangun Hotel Aruss di Semarang, yang dikelola PT Arta Jaya Putra, untuk menyamarkan keuntungan dari bisnis judi online itu. Dilaporkan bahwa hotel tersebut menelan biaya sebesar Rp 40,5 miliar selama pembangunan dari tahun 2020 hingga 2022.
Setelah Memeriksa 27 Influencer Judi Online, Bareskrim Berjanji Segera Gelar Perkara
Menurut Brigadir Jenderal Helfi Assegaf, Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, uang disalurkan secara berjenjang dan menggunakan 17 rekening sebelum beralih ke rekening Firman. Empat orang berinisial OR, RF, MG, dan KB menguasai lima rekening utama yang mengarah langsung ke rekening Firman.
Rekening tersebut digunakan sebagai gudang yang secara teratur menerima setoran dari agen dan bandar judi. Setiap rekening agen terhubung dengan ribuan rekening lain yang digunakan dalam transaksi permainan di situs judi seperti Dafabet, Agen138, dan judi bola. Rekening itu, bagaimanapun, hanyalah nomine yang meminjam identitas orang lain. Tersangka mengakui penggunaan dana itu selama pemeriksaan.
Disebutkan bahwa perusahaan menggunakan perusahaan cangkang VEI Ltd. di British Virgin Islands untuk bertransaksi. Menurut Data Offshore Leaks, perusahaan ini didirikan pada tahun 2005. Perusahaan cangkang biasanya digunakan untuk menampung dan mengaburkan uang dari Indonesia.
Salah satu jenis kejahatan transaksi keuangan yang dikenal sebagai “Hawala” adalah rekayasa untuk mencatat transaksi yang terjadi di luar negeri saat uang berpindah dari perusahaan valas ke berbagai rekening bank.
Seolah-olah uang yang masuk ke rekening perusahaan ini berasal dari kontrak pembelian barang ekspor-impor. Layanan penukaran uang valuta asing kemudian mengembalikan uang ke Indonesia. Para pemain juga memiliki bisnis valas mereka sendiri. Tempo mengumpulkan data dari berbagai perusahaan valas yang sering digunakan oleh Firman.
Semua rekening penempatan yang dapat dipantau menyimpan dana sekitar Rp1,7 triliun dari para pemain judi online. Di antaranya, sekitar empat puluh persen terdiri dari rekening agen dan bandar yang terafiliasi dengan jejaring Firman Hertanto. Untuk menghindari pemblokiran aparat, mereka secara teratur mengubah identitas situs web dan rekening penampungan.