Ketika Sang judol bertemu Pinjol

Di era komputer dan internet saat ini, dua fenomena keuangan tumbuh dengan cepat dan telah masuk ke dalam kehidupan sehari-hari orang Indonesia. Kedua muncul dalam pesan singkat dan dapat diakses dengan ketukan singkat di ponsel. Kedua muncul di sela-sela lini masa media sosial.

Pertama adalah judi online, juga dikenal sebagai “judol”, yang merupakan tindakan ilegal yang memiliki efek negatif dan adiktif. Kedua adalah pinjaman online, juga dikenal sebagai “pinjol”, yang merupakan kemajuan dalam teknologi finansial yang memungkinkan individu mendapatkan kredit dengan mudah.

Penting untuk dipahami bahwa pinjaman online yang terdaftar dan diizinkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah bagian dari ekosistem keuangan yang sah dan diawasi yang membantu orang-orang yang sebelumnya tidak memiliki akses ke perbankan menjadi lebih kaya.

Namun, kemudahan akses ini memiliki dua efek negatif. Ketika candu judol yang menggerus harapan bertemu dengan risiko pinjol, terciptalah sebuah lingkaran masalah yang mengancam stabilitas keuangan pribadi, keluarga, dan bahkan masa depan generasi muda.

Jika keduanya digabungkan, itu sangat berbahaya. Korban judol biasanya mengalami kerugian uang yang besar dalam waktu singkat. Di tengah keputusasaan, pinjol dianggap sebagai cara termudah untuk mendapatkan uang baru, entah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang mendesak atau dengan harapan sia-sia untuk mendapatkan kembali uang di meja judi.

Ini adalah titik di mana lingkaran mengunci korbannya. Bunga dan denda yang meningkat menimbulkan tekanan finansial dan emosional baru, yang, tragisnya, dapat membawa seseorang semakin dalam ke jurang judol.

Data yang membuka tabir menunjukkan bahwa skala kedua fenomena ini telah mencapai level yang sangat mengkhawatirkan. Data yang dirilis oleh Ivan Yustiavandana, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam perputaran dana judi online.

Menurutnya, angka perputaran dana meningkat drastis pada semester kedua 2024, dari Rp174 triliun pada semester pertama. Peningkatan tajam yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat ini menunjukkan betapa cepat dan masif uang masyarakat disedot ke dalam pusaran judol.

Lebih jauh, data demografi pemain judol dari 2017 hingga 2023 memberikan gambaran yang buruk tentang siapa yang terlibat.

Dengan 40,18 persen, kelompok usia 30 hingga 50 tahun adalah yang paling produktif dan bertanggung jawab atas pilar ekonomi keluarga. Kelompok usia di atas 50 tahun, 33,98 persen, seharusnya menikmati masa tua dengan tenang.

Penyebaran ke usia muda menjadi lebih mencolok. Anggota kelompok usia 21–30 tahun mencapai 12,82 persen, anggota kelompok usia 10-20 tahun mencapai 10,97 persen, dan bahkan anak-anak di bawah 10 tahun mencapai 2,02 persen. Ini adalah bom demografis yang membahayakan masa depan negara.

Sebaliknya, ekosistem pinjol juga sangat besar. Per Mei 2025, pinjol legal memiliki pembiayaan outstanding sebesar Rp82,59 triliun. Namun, tren kenaikan 3,19 persen dalam tingkat risiko kredit macet (TWP90) menunjukkan bahwa peminjam menghadapi kesulitan untuk membayar.

Konsekuensi aktual

Tidak ada yang bisa dikatakan tentang efek dari persinggungan judol dan pinjol ini. Salah satu akibat paling nyata adalah penurunan kemampuan masyarakat untuk menggunakan produk keuangan yang lebih efisien. Menurut Nixon L.P. Napitupulu, Direktur Utama Bank BTN, sekitar 30% aplikasi KPR subsidi ditolak karena riwayat kredit yang buruk.

Seringkali, penyebabnya adalah tunggakan pinjol atau paylater. Bayangkan seorang kepala keluarga muda yang telah menabung selama bertahun-tahun dan akhirnya tidak bisa mendapatkan rumah hanya karena terlupa ada tunggakan beberapa ratus ribu rupiah. Ini sangat penting bagi sektor perbankan karena ini mencerminkan “karakter” dan kedisiplinan finansial yang tertanam dalam SLIK.

Mahasiswa adalah kelompok yang sangat rentan juga. Mereka melihat pinjol sebagai solusi instan ketika mereka terjepit antara tuntutan biaya kuliah, biaya sewa kamar, dan tekanan sosial untuk tidak ketinggalan zaman.

Mereka seringkali tidak memahami risiko bunga tinggi dan denda keterlambatan karena mereka tidak tahu banyak tentang keuangan. Stres yang disebabkan oleh notifikasi tagihan teror dapat mengganggu konsentrasi siswa dan bahkan menyebabkan mereka berhenti kuliah, menghambat kemajuan bangsa.

Pemerintah terus berupaya memitigasi ancaman ini melalui berbagai lembaga. Untuk mengawasi industri pinjol legal, OJK melakukan penyaringan ketat dan mencabut izin usaha platform yang bermasalah.

Meskipun menghadapi masalah berat seperti situs yang terus muncul dengan nama baru, Satuan Tugas Pemberantasan Judi Online juga gencar melakukan pemblokiran situs web dan pembekuan rekening. Tetapi tanpa partisipasi dan perhatian masyarakat sendiri, semua upaya ini tidak akan cukup.

Keberkahan, keseimbangan, dan pilihan

Di luar data dan statistik, ada prinsip universal yang harus kita ingat: “Hukum Keseimbangan”, yang mengatakan bahwa setiap tindakan akan memiliki konsekuensi.

Praktik judol adalah contoh nyata dari mencoba mendapatkan sesuatu yang tidak pantas baginya. Ia segera berjanji untuk “lebih”, tetapi pada akhirnya selalu menagih “utang” yang tidak terlihat dalam bentuk kerugian keuangan yang lebih besar, kerusakan hubungan keluarga, dan hilangnya kedamaian batin.

Selain itu, memiliki utang dari pinjol ilegal atau menggunakan pinjol legal dengan cara yang tidak masuk akal untuk gaya hidup. Seringkali, keuntungan sesaat dari dana instan harus diimbangi dengan bunga yang mencekik dan stres psikologis, seolah-olah alam semesta menyeimbangkan kembali jalan pintas yang diambil dengan akibat yang setimpal.

Namun, metode “simpanan kebaikan”—bekerja dengan jujur, mengelola keuangan dengan cermat, dan membangun sesuatu dengan integritas—membangun fondasi yang kokoh, di mana ketenangan batin dan keyakinan menjadi imbalan yang tak ternilai.

Sangat menarik bahwa prinsip ini bukan hanya nasihat moral. Sebuah penelitian oleh Juliane V. Wiese (2023), dipublikasikan di Journal of Behavioral and Experimental Economics, menemukan bukti ilmiah yang kuat. Menurut penelitian, ketika orang diingatkan tentang konsep karma—keyakinan bahwa tindakan baik atau buruk akan memiliki konsekuensi yang sama—orang lebih cenderung bertindak jujur dan menghindari kebohongan untuk kepentingan pribadi.

Hasil ini mendukung gagasan bahwa kesadaran akan adanya “keseimbangan” dapat berfungsi sebagai mekanisme psikologis yang berguna untuk meningkatkan integritas.

Menghindari masalah keuangan bukan satu-satunya alasan untuk menahan diri dari utang konsumtif atau judol. Secara dasar, itu adalah keputusan untuk membangun hidup dengan cara yang adil dan seimbang; metode ini, secara ilmiah dan spiritual, ditunjukkan untuk menghasilkan kebahagiaan dan ketenangan dalam jangka panjang.