Penyebaran promosi judi online ke situs web resmi dan peringatan tentang keamanan digital
Ketika situs web resmi pemerintah yang menunjukkan kampus sebagai representasi otoritas dan kepercayaan masyarakat berubah menjadi platform untuk promosi judi online, kredibilitas institusi dan posisi digital negara menjadi terancam.
Kasusnya yang baru-baru ini terjadi di situs BKPSDM Kabupaten Tabalong serta subdomain Universitas Sebelas Maret dan Universitas Sulawesi Barat menunjukkan bahwa Indonesia sedang menghadapi masalah keamanan digital institusional. Ini bukan hanya masalah teknis; gejalanya menunjukkan kesalahan mendalam dalam tata kelola, budaya perusahaan, dan pemahaman kita tentang risiko dunia maya.
Menurut pakar keamanan siber seperti Ardi Sutedja, Chairman Forum Keamanan Siber Indonesia, ini adalah puncak kelalaian sistemik. Dengan demikian, Indonesia harus mempertimbangkan bahwa yang terjadi adalah akumulasi praktik yang salah kaprah yang berulang.
Situs-situs yang seharusnya menyediakan layanan publik atau sumber informasi akademik justru berubah menjadi tempat perjudian online. Situs-situs ini menawarkan promosi slot gacor, Maxwin, dan janji bonus ratusan persen. Dalam kisah internet yang semakin menggila, keberadaan situs web yang disusupi dan dimanipulasi ini seolah-olah menunjukkan betapa lemahnya pertahanan dunia maya di tanah air, bahkan di bidang yang seharusnya paling aman. Penyebabnya sudah jelas. Banyak situs web, baik pemerintah maupun kampus, tidak memiliki keamanan digital yang kokoh.
Keamanan siber, elemen paling penting, telah diabaikan karena fokus pengadaan pada tampilan visual dan harga murah.
Pengembang situs yang tidak memiliki sertifikasi keamanan standar seperti ISO-27001 biasanya dipilih karena harganya murah. Karena itu, sistem menjadi rapuh, bahkan dengan serangan tingkat dasar, memungkinkan orang jahat untuk masuk.
Ardi dengan tegas menekankan fakta bahwa sebagian besar situs web publik ini bahkan tidak dikelola secara internal; sebaliknya, mereka dihosting oleh pihak ketiga, yang tidak memberikan perlindungan keamanan yang memadai.
Dalam keadaan seperti ini, pihak luar memegang kendali atas situs resmi, sehingga penyusupan tidak lagi merupakan ancaman maya.
Yang lebih menyedihkan lagi, tidak ada protokol mitigasi yang baik, sistem peringatan dini, audit berkala, dan tim tanggap darurat siber di tingkat institusi. Tidak ada yang dapat mengetahui atau mencegah ketika situs web itu akhirnya dibajak dan diubah sepenuhnya. Yang lebih mencemaskan lagi adalah bahwa masalah ini tidak hanya terjadi di tingkat daerah. Universitas besar dengan fakultas teknologi informasi juga terjebak dalam masalah yang sama.
Negara ini menemukan ironi yang menyakitkan di sini. Bagaimana mungkin institusi yang mendidik generasi ahli teknologi justru mengabaikan keamanan teknologinya sendiri? Jawabannya kembali pada fakta bahwa tidak semua lembaga memahami pentingnya keamanan digital dengan baik, dan sebagian besar tetap menganggap ancaman siber sebagai masalah sekunder daripada kebutuhan strategis. Setelah itu, percakapan harus sampai pada masalah utama: kurangnya budaya digital di institusi publik dan keterbatasan dana.
Dalam kerangka enam barang yang dikembangkan oleh ilmuwan Rudy Gultom, komponen barang berbudget adalah yang paling penting sebagai sumber kerentanan digital. Tanpa anggaran yang tepat, tidak ada pengamanan yang memadai. Sebaliknya, memiliki perangkat apa pun tidak berarti pemimpin lembaga tidak memahami pentingnya manajemen risiko digital.
Ardi menyatakan bahwa banyak pimpinan lembaga tidak memahami cara kerja keamanan dunia maya. Bagaimana mungkin anggota staf akan termotivasi untuk membangun sistem yang aman jika pemimpin mereka tidak memahaminya?
Masyarakat dapat melihat bahwa bencana ini adalah bencana budaya. Bangsa ini belum mencapai tingkat keberhasilan yang memadai dalam menanamkan budaya digital sejak dini, terutama dalam hal memberikan pengetahuan tentang risiko dan keamanan siber.
Meskipun faktanya beberapa lembaga publik mungkin tidak memperhatikan masalah ini, fakta bahwa sejumlah situs web resmi telah diblokir untuk menyimpan konten ilegal merupakan sinyal kuat bahwa budaya digital di seluruh negeri perlu diperbaiki.
Banyak kritikus mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia lebih banyak berfokus pada literasi teknologi sebagai alat daripada sepenuhnya memahami etika dan konsekuensi menggunakannya.
Kurikulum masih belum mengajarkan cara membuat sanitasi digital, mengidentifikasi celah keamanan, dan memahami struktur risiko dalam ekosistem digital yang terus berubah.
Padahal, undang-undang sebenarnya tersedia. Berbagai standar keamanan telah dibuat oleh Kementerian Komunikasi dan Digital dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Di sinilah masalah menjadi semakin kompleks. Karena pedoman biasanya tidak dibaca, dipahami, atau diterapkan. Karena bukan hanya kekurangan kemampuan teknis, tetapi juga karena kurangnya kesadaran kelembagaan bahwa keamanan digital adalah keharusan dan bukan pilihan.
Jika situs resmi sekarang berfungsi sebagai tempat promosi judi, maka besok lusa mungkin berubah menjadi penyebar malware, alat propaganda politik, atau bahkan alat untuk manipulasi data publik.
Ancaman ini benar-benar ada. Dunia cyber tidak memiliki struktur pemerintahan atau institusional. Namun, menyerang siapa saja yang lalai, apakah itu lembaga kecil di kabupaten atau universitas kota yang besar.
Negeri ini memperdebatkan integritas sistem informasinya daripada reputasinya. Indonesia harus berhenti melihat keamanan digital sebagai bagian tambahan atau tambahan dari pengadaan sistem informasi.
Semua kebijakan digitalisasi harus mengutamakan keamanan siber. Pemerintah, kampus, dan lembaga publik lainnya harus memiliki tim keamanan informasi yang disertifikasi, anggaran yang memadai, dan sistem yang selalu diperbarui.
Lebih dari itu, semua pemangku kepentingan, mulai dari pejabat hingga siswa, harus membuat semua orang menyadari bahwa melindungi keamanan digital adalah tanggung jawab publik.
Masa depan negara digital tergantung pada seberapa canggih teknologi mereka dan seberapa bijak mereka melindunginya.
Jika Indonesia membiarkan pusat informasi strategisnya diretas, bahkan dipermalukan oleh perjudian online, negara itu tidak dapat berdaya saing. Ini adalah saatnya untuk bangkit dari kelalaian. Jika tidak sekarang, masyarakat negara ini akan terus membaca berita seperti ini berulang kali.