Kasus Polwan yang Membakar Suami: Momentum untuk Menghentikan Judi “Online”
Kasus polisi wanita di Mojokerto yang membunuh suaminya karena kesal karena gajinya diduga dihabiskan untuk bermain judi online harus menjadi inspirasi untuk memperkuat komitmen untuk memerangi penyakit masyarakat. Korban judi tidak terus jatuh dan kasus kriminal yang disebabkan oleh permainan tersebut tidak terus meningkat.
Seorang pakar hukum pidana dari Universitas Bhayangkara Surabaya, Sholehuddin, menyatakan bahwa baik judi luring maupun online merupakan tindak pidana. Sementara judi luring sama dengan judi konvensional, judi online adalah judi yang dilakukan secara online melalui website atau aplikasi yang menyediakan konten perjudian.
Sholehuddin menyatakan, “Perjudian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan judi online diatur dalam UU ITE.”
Menurut Ketua Perhimpunan Dosen Ilmu Hukum Pidana Indonesia, ada beberapa pasal yang mengatur perjudian, seperti Pasal 303 KUHP, yang mengancam pemain judi dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda Rp 25 juta. Selain itu, ada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE, yang mengancam pelaku judi online dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar.
Baca juga: Polisi yang Membunuh Suami Dipindahkan dari Rutan untuk Membantu Merawat Anaknya
Sholehuddin menyatakan bahwa polisi memiliki tanggung jawab untuk menindak perjudian, baik yang dilakukan secara luring maupun online, agar masyarakat jera dan tidak meresahkan.
Namun, dalam kasus polisi wanita di Mojokerto yang membunuh suaminya, ternyata suaminya terlibat dalam judi online. Ini menjadi ironi karena polisi yang seharusnya memerangi judi justru menjadi pemain.
Sholehuddin menyatakan, “Hal itu harus dipandang bahwa judi online ini sudah memapar banyak orang dari berbagai kalangan, termasuk aparat penegak hukum. Oleh karena itulah, komitmen kepolisian untuk memberantas judi, terutama judi online, harus diperkuat lagi.”
Masyarakat dikejutkan dengan tindakan Briptu Fadhilatun Nikmah (28) yang membunuh suaminya, Briptu Rian DW (27), pada Sabtu kemarin. Pelaku bekerja di Polresta Mojokerto, sedangkan korban bekerja di Polresta Jombang. Di rumah dinas Asrama Polisi Polres Mojokerto, peristiwa itu disebabkan oleh kekesalan pelaku karena mengetahui bahwa gaji suaminya dihabiskan untuk bermain judi online.
Pasangan ini memiliki tiga anak dan harus membayar kebutuhan hidup mereka dengan uang yang mereka peroleh. Selain itu, anak-anak mereka masih sangat muda: satu berusia dua tahun dan dua kembar berusia empat bulan. Briptu FN baru kembali bekerja setelah cuti melahirkan.
Seorang sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Malang, Luluk Dwi Kumalasari, mengatakan bahwa faktor ekonomi adalah penyebab utama perjudian online. Pelaku berjudi karena mereka ingin mendapatkan banyak uang tanpa bekerja banyak. Pengelola dan bandar judi mengiming-imingi hadiah besar atau keuntungan besar yang dapat dicapai dengan modal kecil.
Luluk menyatakan, “Yang berbahaya, judi konvensional dan judi online sama-sama memicu kecanduan bagi penggunanya, sehingga sulit untuk berhenti.”
Kecanduan judi juga mendorong penjudi untuk mencuri uang, menjual semua hartanya, atau menumpuk utang karena lebih memilih menghabiskan uang untuk berjudi. Perilaku buruk lainnya termasuk suami yang tidak lagi mau menafkahi istrinya atau bertanggung jawab terhadap keluarganya.
Akibatnya, banyak penjudi online yang terjerat dalam pinjaman untuk memenuhi keinginan mereka untuk bermain terus-menerus. Luluk menyatakan, “Pemain dibuat penasaran dengan tawaran yang bisa menang besar.”
Saat ini, fenomena judi online dapat ditemukan di kehidupan sehari-hari. Karena tawaran untuk bermain judi online tersebar di berbagai fitur telepon pintar yang biasa digunakan oleh masyarakat, dapat disimpulkan bahwa siapa pun yang memiliki telepon pintar dengan mudah akan terpapar judi online.
Pemain judi berasal dari semua generasi: anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orang tua. Seiring dengan munculnya situs judi baru, jenis permainan judi online saat ini semakin beragam dan beragam. Selain itu, pengelola judi online semakin inovatif dalam memasuki domain lain, seperti game online.
Luluk menyadari bahwa pemberantasan fenomena judi online yang semakin meresahkan masyarakat saat ini bukan hanya tanggung jawab polisi; itu juga merupakan tanggung jawab masyarakat secara keseluruhan, terutama para orangtua yang harus memastikan anak-anaknya tidak terlibat dalam tindak pidana.
Karena anak-anak di sekolah dasar sudah menggunakan telepon pintar secara aktif, penting untuk menyebarkan kesadaran tentang judi online dan bahayanya sejak dini. Lembaga pendidikan memungkinkan orang lain untuk belajar selain orang tua mereka.