Sederhanakan Iklan Judi Online di Media Sosial
Iklan judi online, juga dikenal sebagai judol, tanpa disadari menyebar di antara unggahan komedi, berita teman lama, atau video hewan lucu. yang menawarkan bonus seperti “jackpot instan”, “menang besar”, atau testimoni artis terkenal yang menjanjikan “cuan tanpa batas” ” Apakah Anda tahu bahwa ini bukan iklan biasa? Ini adalah jerat digital dari industri yang mahir memanfaatkan celah algoritma dan menggunakan bahasa yang menggoda untuk menarik perhatian.
Di negara ini, perjudian online, atau judol, seperti tidak ada habisnya. Ini karena judi online, juga dikenal sebagai judol, menjebak masyarakat dari segala penjuru dengan gawai yang mudah diakses. Selain diiklankan untuk menargetkan pengguna media sosial, desain pelantar memungkinkan pengiklan judi menemukan pelanggan dengan lebih mudah.
Strategi untuk permainan judi online memang dimaksudkan untuk membuat petaruh ketagihan. Pemain dibuat menang sekali dan kemudian kalah berkali-kali, kata Ardhian Dwiyoenanto, ahli dari Lembaga Anti Pencucian Uang Indonesia. “Kemudian dibuat menang sekali lagi dan kalah seterusnya hingga semua uang di kantong terkuras,” katanya.
Selain itu, algoritma judi online menggunakan teknik manipulatif yang dikenal sebagai “foot in the door” untuk memberikan sejumlah kemenangan kecil sebagai umpan. Dengan kata lain, jebakan mental pejudi terdiri dari dua sisi sekaligus: internal dan eksternal.
Pejudi terlalu percaya bahwa ia akan menghindari bahaya. Itu disebut bias dari belakang. Reza Indragiri Amriel, seorang ahli psikologi forensik, mengatakan, “Ini sempurna, perangkap internal dan eksternal bekerja bersamaan.”
Cara algoritma yang digunakan oleh platform media sosial menjaga rahasia perusahaan. Prinsip dasar sistem rekomendasi ini, bagaimanapun, mirip dengan loop feedback. Muhammad Johan Alibasa, dosen keamanan siber di Monash University Indonesia di Kabupaten Tangerang, Banten, menjelaskan bahwa algoritma ini memperhitungkan jumlah waktu yang dihabiskan pengguna untuk melihat suatu postingan atau iklan, serta jumlah suka (like), komentar, dan jumlah waktu yang dihabiskan untuk melihat postingan atau rekaman.
Melalui jawaban tertulis, dia menyatakan, “Misalnya, kita melihat postingan tentang judol atau video dengan jenis tertentu secara utuh atau cukup lama, maka algoritma ini akan menyimpulkan bahwa kita tertarik untuk melihat post/video sejenis (karena ada engagement), dan akan semakin sering memunculkan post/video sejenisnya, termasuk banyak iklan berbayar dari operator judol.”
Johan mengutip artikel di Guardian, sebuah situs media Inggris, yang menyebutkan beberapa situs web yang tidak bermoral menggunakan Meta Pixel. Meta, yang memiliki Facebook, Instagram, dan situs web lainnya, menggunakan alat ini untuk menentukan apakah seseorang ini adalah seorang “penjudi”. Akibatnya, pengguna akan melihat iklan judol lebih sering.
Situs judi online memang diperbolehkan mempromosikan dirinya secara masif di media sosial, selain manipulasi psikologis dan algoritma.
Iklan judi tidak dilarang di platform perusahaan media sosial seperti Meta. Di halaman Keterbukaan Meta, perusahaan yang didirikan oleh Mark Zuckerberg itu mewajibkan pengiklan menargetkan pengguna media sosial berusia 18 tahun ke atas. Selain itu, perusahaan tersebut hanya meminta pengiklan meminta izin tertulis dari Meta.
Selain itu, Meta tidak mengungkapkan informasi tentang berapa banyak uang yang dihabiskan pemilik situs judi untuk iklan. Ini termasuk menahan informasi tentang usia dan wilayah yang ditargetkan pengiklan.
Pengiklan yang ingin menampilkan iklan mereka hanya perlu membuat akun Manajer Bisnis di Meta, yang sangat mudah. Bahkan pengiklan dapat menyembunyikan identitas aslinya, seperti yang dilakukan oleh beberapa pengiklan dengan menggunakan nama akun palsu atau selebritas untuk menarik calon pemain.
Iklan judol memanfaatkan AI dalam strategi pemasaran mereka seiring berkembangnya AI. Pengiklan judi menggunakan kecerdasan buatan deepfake untuk mengubah video, foto, dan suara sehingga tampak seperti orang yang mempromosikan permainan judi online. Masyarakat yang tidak terbiasa dengan teknologi menggunakan strategi ini.
Johan menambahkan bahwa pemerintah, melalui Permenkominfo, dapat meminta penghapusan atau pencabutan iklan atau postingan ilegal dalam 24 jam, atau bahkan 4 jam, dalam situasi mendesak. Masalahnya adalah kerugian terlanjur muncul karena iklan telah muncul ribuan kali dalam waktu itu.
Dia mengatakan bahwa denda sebesar Rp 500 juta per konten terlalu kecil untuk perusahaan platform besar atau organisasi judol global dengan omset yang lebih besar. Oleh karena itu, dia menyarankan agar skema denda disesuaikan dengan persentase omset global. Tujuannya adalah untuk memaksa platform untuk secara proaktif memblokir iklan judi daripada hanya menunggu laporan. Menurutnya, aturan saat ini lebih reaktif (lapor-hapus) daripada preventif.
Selain itu, video deepfake yang dibuat menggunakan kecerdasan buatan yang menampilkan artis atau influencer yang mendukung situs judol terus ditayangkan di media sosial. Sayangnya, sebagian besar orang masih kesulitan membedakan antara konten asli dan palsu. “Pemerintah bisa mempertegas aturan untuk menuntut syarat tambahan, misalnya penambahan larangan deepfake atau video AI untuk promosi produk yang memang ilegal, seperti judol ini.”
Apakah Anda setuju untuk melakukan tindakan lebih keras terhadap platform media sosial yang menampilkan iklan judi?